SURABAYA - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G-20) periode tahun 2022 berhasil diselenggarakan di Jakarta, Indonesia. Isu perubahan iklim menjadi salah satu isu penting dalam diskusi G-20 dalam rangka realisasi Perjanjian Paris.
Meskipun kondisi pemanasan di bumi menurun dari kondisi enam tahun lalu, tapi angka penurunan masih diproyeksikan sulit untuk mencapai target yang ada. Bagaimanakah perbandingan realita ambisi dengan G-20 pada perubahan iklim?
Baca juga:
Social Media Distancing
|
Pada pertemuan yang diselenggarakan pada Februari lalu, pemimpin G-20 membawa permintaan masyarakat internasional yang terus berharap Indonesia dapat mencapai ambisi ‘angsuran’ iklim. Sebagai negara pemegang status paru-paru dunia, keberhasilan Indonesia dalam agenda perubahan iklim menjadi bagian inti kejayaan Perjanjian Paris. Oleh karenanya, penting bagi Indonesia untuk menjalankan program-program jitu yang linear dengan nafas mitigasi perubahan iklim.
Penerbitan pendanaan investasi tabungan lingkungan hijau, berbagai insentif untuk menarik minat sektor swasta terhadap sektor ekonomi hijau, serta dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi komitmen keseriusan Indonesia. Hal itu menjadi peluang yang signifikan bagi Indonesia untuk memanfaatkan sumber-sumber baru pembiayaan iklim internasional, baik dari sektor publik maupun swasta. Indonesia tentu menyambut baik pendekatan kreatif dan antisipatif masyarakat internasional dalam pembiayaan agenda iklim.
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Namun, ketika di Glasgow pada forum Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (COP) ke 26, terkuak kekecewaan besar dari kelompok negara berkembang. Komitmen anggaran dana iklim oleh masyarakat internasional masih kurang dan masih banyak kesenjangan antara harapan dan realita. Anggaran dana juga diharapkan tak sekadar terealisasi lebih cepat, tetapi juga lebih inklusif, akuntabel, dan transparan serta mencakup pandangan dan masukan yang lebih luas.
Sangat penting bagi negara maju dan negara berkembang untuk bekerja sama dengan erat, baik dalam menentukan proyek-proyek yang potensial, memastikan kelayakan pembiayaan termasuk mengembangkan sistem monitoring, dan evaluasi yang jelas dan realistis.
Baca juga:
Mondoklah di Pesantren?
|
Mengapa pembahasan anggaran dana dalam perubahan iklim dunia ini penting? Dengan diakuinya aktivitas transisi seperti transisi energi dalam dunia industri, akses terhadap pendanaan untuk aktivitas ini seharusnya menjadi terbuka. Alih-alih mendapat akses dana perubahan iklim, ketidakpastian dunia melihat aktivitas ini sebagai aktivitas transisi justru dapat menghambat akses ke pendanaan.
Keinginan Indonesia untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi (high income country) pada 2045 perlu diiringi dengan kepemimpinan yang memastikan keberhasilan mencapai pembangunan berkelanjutan, berfokus pada perubahan iklim dunia termasuk di dalamnya transisi menuju target emisi nol bersih secara adil dan terjangkau. Oleh karena itu, dengan hadirnya kepemimpinan G-20 Indonesia, inisiatif kolektif untuk menutup palung tersebut patut disuarakan lebih lantang dengan menggalang suara negara berkembang lainnya.
Bersama harus menyerukan kepada negara-negara maju untuk menutup kesenjangan komitmen pendanaan iklim yang telah dijanjikan. Di saat bersamaan, Indonesia dan negara lainnya harus menuntut kepastian aturan main dan mekanisme pemberian greenmium (premium untuk proyek hijau) agar negara-negara berkembang dapat lebih mudah mengakses pendanaan internasional tersebut. (*)
Surabaya, Minggu 27 Pebruari 2022
Baca juga:
Menanggapi Paradigma Polemik Perubahan Laut
|
Ditulis oleh: Fauzan Fakhrizal Azmi Mahasiswa Departemen Fisika ITS Angkatan 2020